JAWA POS - Terus
menempel Valentino Rossi menunjukkan ketangguhan mental Jorge Lorenzo. Dia jauh
lebih matang dibandingkan tahun lalu. Ketika itu, saat tertekan, memulai
balapan saja Lorenzo sempat jump start. Apa resepnya?
![]() |
Valentino Rossi dan Jorge Lorenzo |
Saat pertarungan
perebutan gelar juara dunia MotoGP berjalan begitu ketat, kecepatan tak bisa
lagi jadi satu-satunya jaminan. Mental, ketenangan, dan pengalaman bisa lebih
menentukan daripada setumpuk data teknis sebagai acuan menentukan setting-an
motor. Sisi spiritual itulah yang sekarang menjadi faktor penting sekaligus
senjata ampuh dalam menghadapi pertarungan perebutan juara.
Andai persaingan
menuju puncak juara MotoGP 2015 terjadi antara bintang Repsol Honda dan
Movistar Yamaha, prediksi rasanya lebih mudah dilakukan. Dengan motor yang
berkarakter beda, analisis bisa langsung diarahkan si A memenangkan lomba di
sirkuit mana.
Tapi, saat ini
pertempuran terjadi antar rekan setim di Yamaha, Valentino Rossi dan Jorge
Lorenzo. Motornya sama. Kelebihan dan kekurangannya tentu tidak jauh berbeda.
Hanya gaya membalap dan mental saat menghadapi perseteruan itu yang menentukan.
Ketika poinnya
tertinggal jauh dalam tiga seri pembuka, Lorenzo dengan tenang menyatakan musim
masih panjang dan apapun masih bisa terjadi. Benar saja, pada seri keempat, di
kampungnya, Spanyol, dia membalik keadaan dan merebut kemenangan. Hasil positif
tersebut bahkan diulangi sampai empat kali beruntun.
Kondisinya
kembali memburuk saat jaraknya kembali menjauh di dua seri berikutnya.
Lagi-lagi, Lorenzo tenang. Juara dunia dua musim itu percaya bisa lepas dari
ketertinggalan. Di seri Indianapolis, dengan finis runner-up, selisih poinnya
dengan Rossi kembali mendekat menjadi sembilan poin. Sekarang, dengan selisih 18
poin, Lorenzo tetap sesumbar akan terus bertarung hingga akhir musim.
Mat Oxley,
penulis biografi Valentino Rossi dan Mick Doohan, Juni lalu mengungkapkan bahwa
sifat positif Lorenzo itu diperoleh dari hasil mempelajari ilmu meditasi yang
secara khusus dinamakan sophrology. “Ilmu itu bertujuan untuk meningkatkan
konsentrasi, motivasi, dan relaksasi otot,” kata Oxley.
Lorenzo belum
setara dengan Doohan, kata Oxley. Karena itu pula, karirnya di MotoGP bak
roller coaster. Rider 28 tahun itu baru bisa tenang saat berada di posisi depan
ketika balapan. Saat di sekitarnya ada ancaman,
konsentrasinya belum bisa bulat. Dia sendiri mengakuinya. “Saat aku berada di
posisi keenam, rasanya tidak sama (ketenangan saat di depan). Aku akan
kesulitan untuk membalap dengan smooth,” ujarnya tahun lalu sebagaimana dilansir
Motorsport Magazine.
Oxley menulis
perbandingan emosional yang sama tahun lalu. Saat itu, grafik Lorenzo menurun,
sedangkan Marc Marquez dalam zona tren positif. Setahun berlalu, grafik
tersebut berbanding terbalik.
Sebenarnya,
ketenangan yang diidamkan Lorenzo itu sudah ada pada diri Rossi. Prestasi buruk
di sesi kualifikasi tak terlalu merisaukannya. Bertarung satu lawan satu atau
keroyokan sekaligus sudah beratus kali dihadapi The Doctor. Selain pengalaman,
Rossi punya sisi spiritual yang mampu menyatukan gaya balapnya dengan motor
tunggangannya. Jongkok di samping motornya dengan kedua tangan memegangi
footstep motornya. Seperti berdoa. “Hanya momen untuk bisa fokus dan berbicara
kepadanya (motor),” kata Rossi.
Pembalap 36 tahun
tersebut tak menganggap motornya sebagai benda mati semata. Saking sayangnya
dengan motor, Rossi adalah satu-satunya pembalap yang mau menempelkan setiap
stiker di badan tunggangannya itu. Biasanya dilakukan setiap malam menjelang
balapan.(cak/c19/ang)
No comments:
Post a Comment