Iklan Radar Banjarmasin

Iklan Radar Banjarmasin

Thursday, October 15, 2015

Pelatih Paul Cumming Kini Nestapa di Masa Tua

JAWA POS - Kecintaan Paul Cumming kepada Indonesia adalah cinta yang gila. Bagaimana tidak, dia rela meninggalkan kewarganegaraan Inggris demi bisa menjadi orang Indonesia. Paul Cumming adalah warga asing kedua yang dinaturalisasi gara-gara urusan sepak bola setelah Toni Pogacnik, pelatih timnas Indonesia era 1950-an.
Paul Cumming
Paul datang di Indonesia pada 1978. Dia pernah membesut tim Indonesia Muda yang mengikuti kompetisi Galatama dan membawa harum Perseman Manokwari lolos ke final Divisi Utama Perserikatan 1985. Hidupnya banyak dihabiskan di pedalaman Papua, mencari talenta-talenta terbaik. Patrick Wanggai adalah buah pencariannya.
Ketahuilah, hidupnya di Indonesia amat lah begitu menderita. Usahanya di Papua bangkrut gara-gara ditipu orang. Tanah dan rumahnya di Nabire kini ditumbuhi ilalang. “Pernah saya tinggal beberapa bulan, namun setelah pulang ternyata semua sudah ludes. Kusen-kusennya pun dicuri orang,” kata Paul terkekeh kepada Jawa Pos pada Maret lalu.
Dia pun hijrah ke Lampung. Di sana dia pernah ditusuk orang karena mencegah aksi para begundal. Alhasil, Paul pun pindah ke Malang dan menetap di sebuah rumah kecil di pedalaman kaki Gunung Semeru di daerah Poncokusumo, Malang. Dia menuturkan, meski melanglang buana ke mana-mana, gaji tidak selalu didapat. Gajinya yang belum terbayar bersebar dari klub-klub Sumatera sampai Papua.
Nasib Paul yang semakin tua kini semakin malang. Saat Jawa Pos menemuinya April silam, lelaki kelahiran London itu sakit. Dia mengalami stroke dan harus dirawat di rumah sakit selama empat bulan. Separo badannya lumpuh. Yang lebih celaka adalah kanker kulit menghinggapi kepala. Di kepalanya kini tumbuh segumpal daging seukuran burger. Berwarna hitam, cokelat, dan kekuning-kuningan. Mengeluarkan bau yang menyengat. Kasihan.
Paul pernah mengatakan sangat mencintai Indonesia dengan alam dan keramahan orang-orangnya. Itu yang mendorong dia tinggal di Indonesia. Namun, siapa sangka, kecintaan itu pula yang membuatnya celaka. Sebagai ras yang memiliki mata biru dan kulit putih, amatlah berbahaya bagi Paul jika tinggal di Indonesia yang bercuaca tropis. Sengatan ultraviolet di daerah katulistiwa yang lebih intens membuat kansnya terkena kanker kulit mencapai sepuluh kali lipat dari orang normal. Sebelum stroke, Paul menganggap ancaman itu sebagai lelucon belaka. “Kecintaan saya kepada Indonesia tidak akan terhalang oleh kanker, hehehe,” katanya.
Pasca stroke dan daging kanker yang membesar, Paul kini meninggalkan gubuknya di kaki gunung dan pindah ke sebuah rumah di daerah Bumiayu, Kota Malang. Biaya yang berat membuat pengobatan dilakukan seadanya. “Ikhtiar tetap terus kami lakukan. Namun, pembiayaan pengobatan selama beberapa bulan terakhir sangatlah berat,” ucap Fifing, sang istri.
Saat Jawa Pos menyambangi rumah Paul di Bumiayu, dia sempat tersenyum. Ingatan dan pikirannya memang masih normal. Hanya, dia tidak bisa berinteraksi. Paul adalah fans berat Liverpool. Ketika Jawa Pos mengguyoni bahwa Liverpool akan juara setelah Jurgen Klopp datang, dia langsung memukul perut saya. Tentu saja itu dalam konteks bercanda. Dia hanya tersenyum dan mengangkat jempolnya.
Beruntung, Menpora Imam Nahrawi sempat menyambangi rumah Paul Rabu lalu (7/10). Janji Menpora untuk membantu Paul terealisasi. Senin lalu Menpora mengirim Direktur Rumah Sakit Olahraga Nasional (RSON) dr Basuki Supartono menjenguk Paul. “Penyakit yang diderita mantan pelatih senior itu adalah basalioma (kanker kulit) di bagian dahi dan pascastroke,” ungkap Basuki Supar tono saat menjenguk Paul. Rencananya, Paul dibawa ke Solo untuk menjalani pengobatan steam cell. “Terlalu riskan jika daging di kepalanya itu dioperasi lagi karena sebelumnya juga sudah, tapi tumbuh lagi,” kata Fifing. Semoga lekas sembuh, Paul. You’ll never walk alone!!! (c4/ko)

No comments:

Post a Comment