JAWA POS - Kecintaan
Paul Cumming kepada Indonesia adalah cinta yang gila. Bagaimana tidak, dia rela
meninggalkan kewarganegaraan Inggris demi bisa menjadi orang Indonesia. Paul
Cumming adalah warga asing kedua yang dinaturalisasi gara-gara urusan sepak
bola setelah Toni Pogacnik, pelatih timnas Indonesia era 1950-an.
![]() |
Paul Cumming |
Paul datang di
Indonesia pada 1978. Dia pernah membesut tim Indonesia Muda yang mengikuti
kompetisi Galatama dan membawa harum Perseman Manokwari lolos ke final Divisi
Utama Perserikatan 1985. Hidupnya banyak dihabiskan di pedalaman Papua, mencari
talenta-talenta terbaik. Patrick Wanggai adalah buah pencariannya.
Ketahuilah,
hidupnya di Indonesia amat lah begitu menderita. Usahanya di Papua bangkrut
gara-gara ditipu orang. Tanah dan rumahnya di Nabire kini ditumbuhi ilalang. “Pernah
saya tinggal beberapa bulan, namun setelah pulang ternyata semua sudah ludes.
Kusen-kusennya pun dicuri orang,” kata Paul terkekeh kepada Jawa Pos pada Maret
lalu.
Dia pun hijrah ke
Lampung. Di sana dia pernah ditusuk orang karena mencegah aksi para begundal.
Alhasil, Paul pun pindah ke Malang dan menetap di sebuah rumah kecil di
pedalaman kaki Gunung Semeru di daerah Poncokusumo, Malang. Dia menuturkan,
meski melanglang buana ke mana-mana, gaji tidak selalu didapat. Gajinya yang
belum terbayar bersebar dari klub-klub Sumatera sampai Papua.
Nasib Paul yang
semakin tua kini semakin malang. Saat Jawa Pos menemuinya April silam, lelaki
kelahiran London itu sakit. Dia mengalami stroke dan harus dirawat di rumah
sakit selama empat bulan. Separo badannya lumpuh. Yang lebih celaka adalah
kanker kulit menghinggapi kepala. Di kepalanya kini tumbuh segumpal daging
seukuran burger. Berwarna hitam, cokelat, dan kekuning-kuningan. Mengeluarkan
bau yang menyengat. Kasihan.
Paul pernah
mengatakan sangat mencintai Indonesia dengan alam dan keramahan orang-orangnya.
Itu yang mendorong dia tinggal di Indonesia. Namun, siapa sangka, kecintaan itu
pula yang membuatnya celaka. Sebagai ras yang memiliki mata biru dan kulit
putih, amatlah berbahaya bagi Paul jika tinggal di Indonesia yang bercuaca
tropis. Sengatan ultraviolet di daerah katulistiwa yang lebih intens membuat
kansnya terkena kanker kulit mencapai sepuluh kali lipat dari orang normal.
Sebelum stroke, Paul menganggap ancaman itu sebagai lelucon belaka. “Kecintaan
saya kepada Indonesia tidak akan terhalang oleh kanker, hehehe,” katanya.
Pasca stroke dan
daging kanker yang membesar, Paul kini meninggalkan gubuknya di kaki gunung dan
pindah ke sebuah rumah di daerah Bumiayu, Kota Malang. Biaya yang berat membuat
pengobatan dilakukan seadanya. “Ikhtiar tetap terus kami lakukan. Namun, pembiayaan
pengobatan selama beberapa bulan terakhir sangatlah berat,” ucap Fifing, sang
istri.
Saat Jawa Pos
menyambangi rumah Paul di Bumiayu, dia sempat tersenyum. Ingatan dan pikirannya
memang masih normal. Hanya, dia tidak bisa berinteraksi. Paul adalah fans berat
Liverpool. Ketika Jawa Pos mengguyoni bahwa Liverpool akan juara setelah Jurgen
Klopp datang, dia langsung memukul perut saya. Tentu saja itu dalam konteks
bercanda. Dia hanya tersenyum dan mengangkat jempolnya.
Beruntung,
Menpora Imam Nahrawi sempat menyambangi rumah Paul Rabu lalu (7/10). Janji
Menpora untuk membantu Paul terealisasi. Senin lalu Menpora mengirim Direktur
Rumah Sakit Olahraga Nasional (RSON) dr Basuki Supartono menjenguk Paul. “Penyakit
yang diderita mantan pelatih senior itu adalah basalioma (kanker kulit) di
bagian dahi dan pascastroke,” ungkap Basuki Supar tono saat menjenguk Paul.
Rencananya, Paul dibawa ke Solo untuk menjalani pengobatan steam cell. “Terlalu
riskan jika daging di kepalanya itu dioperasi lagi karena sebelumnya juga
sudah, tapi tumbuh lagi,” kata Fifing. Semoga lekas sembuh, Paul. You’ll never
walk alone!!! (c4/ko)
No comments:
Post a Comment