JAWA POS - Jamie
Vardy tiba-tiba melejit musim ini bersama Leicester City. Dia top scorer
sementara Premier League dan telah dipanggil timnas Inggris. Prestasi hebat
mengingat dia beberapa musim lalu masih bermain di kasta kedelapan.
![]() |
Jamie Vardy |
Sesi konferensi
pers saat menjalani debut bersama timnas Inggris ketika uji coba dengan
Irlandia di Dublin, 4 Juni lalu, begitu dikenang Jamie Vardy. Semua media
tertarik dengan perasaan dan masa lalu striker berusia 28 tahun itu.
Pemanggilan Vardy ke timnas menjadikannya sebagai pemain pertama Leicester yang
menembus Three Lions sejak sekian lama. Kali terakhir, kiper Ian Walker
melakukannya pada 2001.
Vardy pun
menjawab dirinya begitu berterima kasih kepada masa lalunya. Ada apa memangnya?
Sebab, tanpa kisah kecilnya yang dirasa begitu suram, Vardy tentu tidak akan
membuat sejarah. Semua itu terjadi delapan tahun silam, atau pada 2007, ketika
dirinya masih menjadi pemain akademi Stocksbridge Park Steel. Sebuah klub yang
menghuni Northern Premier League Division One South atau kasta kedelapan di
liga Ingg ris.
Vardy muda, yang
saat itu masih berusia 20 tahun, harus berurusan dengan polisi karena dianggap
melakukan penyerangan terhadap sekelompok anak di sebuah kelab malam. Vardy
saat itu bersikeras bahwa dirinya membela temannya yang mengalami bullying. Dia
mengaku temannya itu tuli sehingga menjadi bahan olok-olok anak-anak lain.
Pemain 178 cm itu pun memutuskan untuk membelanya. “Aku tidak bangga dengan
itu. Namun, aku langsung membelanya, seperti yang aku lakukan kepada
teman-temanku. Namun, hal itu malah membuatku bermasalah dengan polisi,”
ungkapnya sebagaimana dilansir Daily Mail.
Imbas dari
pembelaan ter sebut, Vardy pun dijatuhi vonis menjadi tahanan rumah selama
beberapa waktu. Vonis itu disebut sangat berat untuk anak seusianya. “Sangat
sulit tidak bisa melakukan hal normal seperti anak usia 20 tahun pada umumnya.
Pergi keluar dan membeli sesuatu,” kisahnya. “Teman-temanku bisa menikmati masa
mereka. Namun, aku harus terkunci di rumah. Untungnya, aku memiliki setumpuk
DVD,” imbuhnya.
Untung,
pengadilan masih mem bolehkannya bermain bola. Namun, Vardy harus pulang
sebelum pukul 18.30 seperti yang diperintah pengadilan jika dirinya tidak ingin
mendapat hukuman tambahan. Ibarat kisah Cinderella yang harus pulang sebelum
pukul 12 malam.
Karena itu,
pelatihnya saat itu, Garry Marrow, mendapat solusi jitu dengan tetap memainkan
Vardy setidaknya selama 60 menit sehingga dirinya bisa diganti dan pulang ke rumah
tepat waktu. Pengalamannya yang sangat suram tersebut, menurut Vardy,
membuatnya matang sehingga bisa menjadi seperti sekarang. Selain mendapat
kesempatan memb ela timnas Inggris, striker yang mempersembahkan 32 gol dari
105 penampilan di liga bersama Leicester itu menjadi top scorer sementara
dengan torehan tujuh gol dari delapan laga. “Aku mendapat berbagai kesempatan
ini dan aku ingin membuktikan bahwa aku layak,” ujarnya. “Yang aku inginkan
hanyalah bisa berkembang sebesar yang bisa aku lakukan dan melihat ke mana aku
bisa melangkah,” tambah Vardy kembali.
Di sisi lain,
cerita Vardy menggugah beberapa klub dari kasta rendah untuk bisa “bermimpi”.
Sebab, Vardy delapan tahun lalu hanyalah striker biasa dari antah-berantah.
Kini, sinarnya mulai merekah dengan status sebagai top scorer sementara Premier
League. “Kami selalu tahu dia spesial. Dia selalu mempunyai gairah, begitu
lapar akan gol, dan pekerja keras. Aku harap ceritanya bisa menjadi pesan bagi
pemain yang ditolak klub nonliga,” ujar David Bosomworth, chairman Halifax
Town, yang membeli Vardy dari Stock sbridge seharga GBP 15 ribu (sekitar Rp 335
juta) yang menjadi harga transfer pertamanya sebagaimana dilansir Daily
Mail.(apu/c19/ham)
No comments:
Post a Comment